Jumat, 23 Januari 2015

Ragam Hias Tenun Ikat Donggala Sulawesi Tengah



I
Pendahuluan
Kepulauan Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau yang membentang dari sabang hingga merauke. Setiap daerah memiliki tekstil tradisi dan ciri khasnya masing-masing terutama pada corak ragam hias yang sarat makna dan simbolis. Berbeda pada kain tenun Donggala, ragam hias yang terdapat pada tampilan visualnya tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias. Sealin itu ragam hias yang dipakai juga tidak membedakan status sosial pemakainya.
            Di pulau Sulawesi, daerah yang berbeda secara geografis, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah, mempunyai perbedaan sosio budaya yang cukup besar. Pusat-pusat pelabuhan terdapat didataran rendah seperti Manado di Sulawesi utara, pelabuhan Donggala di Sulawesi Tengah, Buton di Sulawesi Tenggara, hingga pelabuhan Makasar di Sulawesi Selatan. Melalui daerah-daerah tersebut masyarakat setempat maupun pendatang, yaitu masyarakat dari kepulauan terdekat maupun para pedagang Nusantara, saling bertemu dan berhubungan.
Dalam perkembangan orang Bugis yang menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda, Kalimantan Timur, mengembangkan kain tenun Bugis yang disesuaikan dengan keadaan local. Hasil akhir sarung ini kemudian dinamai sesuai nama tempatnya, misalnya kain tenun Donggala dan kain tenun Samarinda. Kain tenun Donggala telah ada sejak ratusan tahun silam.  Kain tradisional dari Kabupaten Donggala itu telah dikenal secara nasional meski namanya tidak seharum batik yang telah ditetapkan menjadi kain busana nasional.
Mula-mula orang Bugis menenun untuk memenuhi kebutuhan di ingkungan keluarga. Kai n sarung dibuat untuk dipakai sehari-hari, menghadiri upacara adat misalnya perkawinan dan kenduri. Mereka menenun di beranda rumah atauDi antara hasil tenunan, ada pula yang dibuat untuk keperluan elayaran, misalnya untuk kain layar perahu.



II
Isi
            Sulawesi merupakan salah satu pulau terbesar di wilayah Indonesia selain Sumatra, Kalimantan dan Papua. Letaknya strategis di jalur hubungan perdagangan antar pulau. Masyarakat Bugis, Makassar serta Mandr dari Sulawesi terkenal memegang peran yang penting  Dallam hubungan perdagangan antar pulau Kalimantan, Sumatra , Jawa, dan sekitarnya ke wilayah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur, sampai ke Irian Jaya. Bahkan mereka pun melakukan perjalanan perdagangan panjang sampai ke Benua Australia dan Madagaskar. Mereka adalah pelaut- pelaut ulung dengan Kapal Pinishi yang tersohor. Selain untuk tujuan ekonomi, orang Bugis dan Makasar berlayar jauh mengarungi samudra Indonesia untuk menaklukan pulau-pulau. Ini terjadi pada waktu kejayaan kerjaan Goa dan Bone. Beberapa daerah diantaranya dapat berhasil ditaklukan dan berada dibawah pengaruh kedua kerajaan tersebut.
            Di pulau Sulawesi, daerah yang berbeda secara geografis, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah, mempunyai perbedaan sosio budaya yang cukup besar. Pusat-pusat pelabuhan terdapat didataran rendah seperti Manado di Sulawesi utara, pelabuhan Donggala di Sulawesi Tengah, Buton di Sulawesi Tenggara, hingga pelabuhan Makasar di Sulawesi Selatan. Melalui daerah-daerah tersebut masyarakat setempat maupun pendatang, yaitu masyarakat dari kepulauan terdekat maupun para pedagang Nusantara, saling bertemu dan berhubungan.
            Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas orang Makasar yang penduduknya berbahasa Mangkasara, yang tinggal di ujung selatan Sulawesi dan di kota Makasar. Daerah barat laut didiami oleh orang-orang Mandar, dan daerah-daerah tinggi didiami oleh Toraja yang mempunyai cirri khas tenun ikat lusi terutama yang dihasilkan di Galumpang dan Rongkong. Meskipunada cukup banyak orang Makassar, mayoritas penduduk Sulawesi Selatan adalah orang-orang Bugis yang berbahasa Bugis.
            Kaum laki-laki Sulawesi, terutama orang Bugis, Makasar,dan Mandar adalah pelaut ulung dan pembuat kapal. Mereka melakukan pelayaran hingga berbulan-bulan lamanya. Komunitas ini tidak hanya singgah di pelabuhan yang ditemuinya, melainkan juga beberapa bulan. Bahkan banyak pula yangmenetap hingga seterusnya. Banyak diantara mereka yang membawa serta keluarga atau menikah dengan warga setempat. Dengan demmikian komunita mereka meluas di beberapa tempat seperti di daerah Samarinda di Kalimantan Timur, Sumbawa, dan Lombok d Nusa Tenggara Barat selain diwilayah pantai-pantai di wilayah pantai Sulawesi sendiri.
Sebaliknya kebanyakan kaum wanita bekerja dan melakukan kegiatan sehari-har di rumah. Sebagian mereka melakukan pekerjaan sambilan secara turun-temurun. Pekerjaan menenun ini terutama dikerjakan terutama oleh penenun Bugis, Makasar, Toraja, dan Mandar,namun yang aling menonjol adalah tenunan kain sarung Bugis. Kain tenunan yang juga cukup terkenal adalah sarung Mandar, berupa kain sutera halus dengan corak kotak-kotak kecil warna gelap. Kain ini dapat digulung hingga seukuran kepalan tangan.
            Dalam perkembangan orang Bugis yang menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda, Kalimantan Timur, mengembangkan kain tenun Bugis yang disesuaikan dengan keadaan local. Hail akhir sarung ini kemudian dinamai sesuai nama tempatnya, misalnya kain tenun Donggala dan kain tenun Samarinda.
            Mula-mula orang Bugis menenun untuk memenuhi kebutuhan di ingkungan keluarga. Kai n sarung dibuat untuk dipakai sehari-hari, menghadiri upacara adat misalnya perkawinan dan kenduri. Mereka menenun di beranda rumah atauDi antara hasil tenunan, ada pula yang dibuat untuk keperluan elayaran, misalnya untuk kain layar perahu.
            Benang tenun pada awalnya dibuat dari benang kapas yang dipilin sendiri. Benang sutra baru dikenal di nusantara baru dikenal pada abad ke 16-16, ketika pedagang-pedagang dari luar membawa benang sutera. Hasil tenunannya merupakan corak garis-garis saling berilang menghasilkan kotak-kotak kecil atau besar untuk di jadikan kain sarung. Ada pula tenunan yang dibuat dari benang tipis membentuk kain tipis dan tembus pandang berwarna polos untuk bahan busana yang dikenal dengan nama baju bodo.



Dalam perkambangannya corak kain Bugis kemudian menggunakan corak pakan tambahan songket benang warna dan benang emas. Daerah yang menerapkan corak ini adalah Bone, dimana terdapat motif-motif bungan dan flora pada kain sarungnya. Corak ikat pada kain tenun biadanya berupa ragam hias pucuk rebung, yang diterapkan pada bagian kepala kain sarung. Bagian badan kain diberi motif silangan garis kotak-kotak kecil. Kain tenun sarung sutera ini seperti yang dibuat di Sengkang, Kabupaten Wajo, dan dikenal dengan nama lipa sabbe.
            Peralatan tenun tidak hanya mengandalkan  alat tenun tradisional geogan, melainkan dengan ATBM atau Alat Tenun Bukan Mesin. Secara teknik, alat ini dapat menghasilkan kain yang lebih cepat dan menghasilkan kain yang lebih lebardari kain yang ditenun dengan alat tenu gedogan yang hanya 75 cm. Dengan ATBM, panjang kain tenun dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
            Kabupaten Donggala adalah salah satu kota pelabuhan yang terpenting di sebelah barat Sulawesi Tengah. Kota pelabuhan ini merupakan tempat perdatangan para pedagang dari daerah lain dari Sulaesi Tengah. Terjadi hubungan yang erat antara kota pelabuhan ini dengan kota pelabuhan di Surabaya. Dan sebaliknnya benang sutera dari Surabaya khususnya dari Gresik, dijual kepada pengrajin tenun di Donggala untuk dijadikan bahan dasar tenunannya. Di daerah Gresik sendiri juga ada alat pembuat kain sarung tenun ikat. Hasil tenunan di kedua tempat ini tampak saling pengaruh-mempengaruhi walaupun masih tetap memmiliki cirri khas masing-masing.
           






Analisa

Kain tenun Donggala bernama sama dengan daerah pembuatannya. Daerah pembuatan kain tenun Donggala tersebar di wilayah pantai timur dan barat dari kota pelabuhan Donggala. Kain tenun Donggala dihasilkan oleh penduduk yang berasal dari Sulaesi Tengah sendiri. Merek adalah penenun Donggala yang secara historis, sebagian berasal dari Bugis yang telah menjadi penduduk Donggala. Selain itu ada sebagian kain tenun Donggala yang dibuat oleh golongan minoritas keturunan Arab. Sebagian dari golongan minoritas ini adalah pedagang antara kota Donggala ke Surabaya dan Jakarta. Ada juga yang menjadi pedagang yang mempunyai toko-toko yang menjual kain-kain sarung, benang tenun, bahan pewarna kimia atau pawarna pakaian. Kaum wanitanya mengerjakan bagian-bagian tertentu dari proses menenun seperti membuat desain dan mencelup warna. Pekerjaan-pekerjaan itu biasanya dikerjakan satu orangata bersama-sama. Pekerjaan menenunnya sendiri biasanya diserahkan kepada penduduk asli setempat. Ada juga anggota komunitas Arab yang bekerja sebagai pemodal atau pengusaha yang mengupah orang untuk membuat desain, mencelup warna, maupun menenun.
            Secara Tradisional kain tenun Donggala digunakan untuk membuat pakaian adat masyarakat kaili dan pamola. Ada banyak persamaan antara kain tenun Donggala ini dengan kain tenun Bugis dari Sulawesi Selatan. Perpindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah dapat dihubungkan dengan legenda atau kisah Sawerigading dan Tomanurun yang dikenal dikedua tempat. Sawerigading adalah seorang tokoh keramat yang berasal dari kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, yang erat hubungannya dengan timbulnya kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Tengah. Sedangkan Tomanurun atau disebut juga Manuru Lasaseo adalah tokoh yag turun dari langit ke bumi untuk mengajarkan sejumlah kepandaian kepada masyarakat. Hal ini termasuk dalam segi estetis sebuah karya yang mengandung filosofi.
            Pakaian adat untuk pria di Sulawesi Tengah terdiri dari Buya, yakni baju yang menyerupai jubah. Buya sendiri berarti sarung, seperti nama padatekstil tradisi yang terdapat disana yakni Buya Bomba. “Buya berarti ‘sarung’, sedangkan bomba ‘bunga’.
Ragam Hias Tenun ikat Donggala Sulawesi Tengah

Corak ragam hias yang diterapkan berupa motif tumbuh-tumbuhan atau flora sert fauna. Penggambaran motif bernafas islam disebabkan  Di Sulawesi Tengah memiliki daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, dan menurut beberapa sumber agama Islam dibawa oleh tokoh agama dari Sumatra Barat. Masyarakat yang beragama Islam banyak bermukim di sekitar pantai terutama seperti Palu dan Donggala. Sehingga Unsur agama Islam tampak pada kain-kain tenun yang ditenun, yang lebih menonjolkan unsur-unsur alam seperti bunga-bungaan dan berbagai jenis flora. Unsure motif manusia tidak pernah dimunculkan sesuai dengan unsure seni islam. Jenis fauna yang tampak diterapkan adalah jenis unggas seperti kakak tua atau kupu-kupu. Motif-motif tersebut ditampilkan dalam bentuk ikat  pakan. Kain-kain tenun yang mempunyai ragam hias ikat ini diebut kain Bomba yang lebih dikenal sebagai sarung bomba. Bomba sendiri berarti bunga, sehingga buya bomba bera rti corak ikat yang diberi ragam hias bunga. Kata bunga disini juga dapat diartikan sebagai anea ragam corak hias, termasuk diantaranya bentuk bunga. buya bomba adalah corak yang paling sulit dibuat dan membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Corak-corak lainnya rata-rata membutuhkan cukup satu hingga dua minggu saja.
Pada kain sarung Bomba ragam hias ikat terdapat pada benang pakan. Bentuk bunga yang tampak samar-samar pada kain ini diakibatkan oleh ragam hia gulungan benag pakan itu dimasukkan diantara silangan benang lungsi yang memiliki satu atau berbagai warna polos. Bayangan warna ini terjadi karena warna dasar kain yang gelap atau tua, sedangkan warna ragam hiasnya terang atau muda.
            Ada dua jenis ragam hias yang pertama terletak pada bidang yang  terluas dari kain tersebut yang disebut cura atau sura yang berarti badan kain. Corak ragam hias yang kedua sisinya diterapkan pada bidang yang terbatas yang dinamakan punjang atau kepala kain. Bidang panjang ini berciri motif kecil yang kadang-kadang diisi dengan ragam hias geometris dari bentuk flora. Salah satu corak pada ragam hias ini antara lain garis-garis diagonal yang membentuk belah ketupat yang diisi dengan taburan bunga kecil-kecil. Corak bunga pada cura sama bentuknya dengan bunga-bunga yang terdapat pada bagian punjang, tetapi pada cura ukurannnya lebih besar.
            Ada macam-macam corak ragam hias dengan nama tumbuh-tumbuhan atau bunga-bungaan yang terdapat pada kain tenun Donggala seperti:
·         Tavanggadue atau daun keledai
·         Sesekaranji atau bunga berbuah keranjang
·         Vala artinya sama dengan bomba yang berarti bunga atau kembang
·         Bunga paindo tava ronto , bunga paindo artinya bunga yang bentuknya seperti lampu gantung, tava artinya daun, ronto artinya rontokatau gugur. Jadi artinya bunga yang berbentuk seperti lampu gantung dengn daun- daun yang gugur.
·         Tavanempule, tava adalah daun, nempule berarti merayapatau merambat keatas.
·         Punanununu, berarti pohon beringin.
Selain tenun Donggala corak ikat, ada juga jenis tenun-tenun lain seperti kain songket benang emas, benang perak ata berwarna. Corak jenis ini disebut buya subi. Kata subi mungkin ereat hubungannya dengan sukit atau songket. Ada kain tenun yang disebut bomba kota yaitu kain dengan bemotif bunga berkotak-kotak yang spesifik. Bentuknya dibuat dengan teknik tenun ikat ganda. Walaupun hanya ibuat berdasarkan silangan jalur benang vertical dan horizontal, hasilnnya berupa bentuk atau corak kotak-kotak yang simetris. Motif-motif geometris seperti bentuk meander disebut ukibanji dan bentuk persegi bersambung disebut kacandiva kao-kao.
            Ragam hias yang dipakai juga tidak membedakan statu sosial pemakainya. Mereka menggunakan symbol warna untuk membedakan kain-kain yang dipakai oleh golongan tua dan golongan muda. Golongan tua memilih warna gelap sedangkan untuk golongan muda biasanya mempergunakan warna-warna terang atau mencolok. Kain tenun yang lazim disebut kain palaekat hanya dapat ditemukan di kediaman para keturunan raja-raja Palu. Kain tenun Donggala mempunyai corak yang sangat unik dan langka, karena usianya mencapai 200 tahun.
Menurut Suwati Kartiwa “Kain-kain tradisional di Sulawesi Tengah tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias”.  Namun pada dasarnya tekstil tradisi tersebut memiliki makna filosofi, estetika, indah, dibuat dengan proses, ketekunan, serta alat dan bahan yang tidak sama dengan tekstil yang ada di negara lain. Tekstil tradisi ini logis, bermanfaat dan menonjolkan unsur agama Islam yaitu tidak menerapkan corak manusia pada ragam hiasnya.
III
Penutup
           
Latarbelakang tenun Donggala adalah perkembangan orang Bugis yang menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda, Kalimantan Timur, yang  mengembangkan kain tenun Bugis yang disesuaikan dengan keadaan lokal.
Pakaian adat untuk pria di Sulawesi Tengah terdiri dari Buya, yakni baju yang menyerupai jubah. Buya sendiri berarti sarung, seperti nama padatekstil tradisi yang terdapat disana yakni Buya Bomba. “Buya berarti ‘sarung’, sedangkan bomba ‘bunga’.
Corak ragam hias yang diterapkan berupa motif tumbuh-tumbuhan atau flora sert fauna. Penggambaran motif ber nafas islam disebabkan  Di Sulawesi Tengah memiliki daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Menurut Suwati Kartiwa “Kain-kain tradisional di Sulawesi Tengah tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias”.  Namun pada dasarnya tekstil tradisi tersebut memiliki makna filosofi, estetika, indah, dibuat dengan proses, ketekunan, serta alat dan bahan yang tidak sama dengan tekstil yang ada di negara lain. Tekstil tradisi ini logis, bermanfaat dan menonjolkan unsur agama Islam yaitu tidak menerapkan corak manusia pada ragam hiasnya.
            Latar belakang  terciptanya kain tekstil tradisi tenun sutra Donggala Sulawesi Tengah merupakan runtutan kronologi yang  dapat dibuktikan melalui motif kain Donggala yang diadaptasi dan pengembangan dari tenun Bugis.





Daftar Pustaka

  Kartiwa, Suwati(1983). Tenun Ikat: Penerbit Djambatan.Jakarta.
Kartiwa, Suwati(2007). Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat: PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dianawati, Ajen (2007). Mengenal Alam dan Budaya Indonesia. Wahyu Media. Jakarta.
Dianawati, Ajen (2006). Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap SD. Wahyu Media. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar