I
Pendahuluan
Kepulauan Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau yang
membentang dari sabang hingga merauke. Setiap daerah memiliki tekstil tradisi dan
ciri khasnya masing-masing terutama pada corak ragam hias yang sarat makna dan
simbolis. Berbeda pada kain tenun Donggala, ragam hias yang terdapat pada
tampilan visualnya tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias. Sealin
itu ragam hias yang dipakai juga tidak membedakan status sosial pemakainya.
Di pulau Sulawesi,
daerah yang berbeda secara geografis, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah,
mempunyai perbedaan sosio budaya yang cukup besar. Pusat-pusat pelabuhan
terdapat didataran rendah seperti Manado di Sulawesi utara, pelabuhan Donggala
di Sulawesi Tengah, Buton di Sulawesi Tenggara, hingga pelabuhan Makasar di
Sulawesi Selatan. Melalui daerah-daerah tersebut masyarakat setempat maupun
pendatang, yaitu masyarakat dari kepulauan terdekat maupun para pedagang
Nusantara, saling bertemu dan berhubungan.
Dalam perkembangan orang
Bugis yang menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda, Kalimantan
Timur, mengembangkan kain tenun Bugis yang disesuaikan dengan keadaan local. Hasil
akhir sarung ini kemudian dinamai sesuai nama tempatnya, misalnya kain tenun
Donggala dan kain tenun Samarinda. Kain tenun
Donggala telah ada sejak ratusan tahun silam. Kain tradisional dari
Kabupaten Donggala itu telah dikenal secara nasional meski namanya tidak
seharum batik yang telah ditetapkan menjadi kain busana nasional.
Mula-mula orang Bugis menenun untuk memenuhi kebutuhan di ingkungan
keluarga. Kai n sarung dibuat untuk dipakai sehari-hari, menghadiri upacara
adat misalnya perkawinan dan kenduri. Mereka menenun di beranda rumah atauDi
antara hasil tenunan, ada pula yang dibuat untuk keperluan elayaran, misalnya
untuk kain layar perahu.
II
Isi
Sulawesi merupakan salah satu
pulau terbesar di wilayah Indonesia selain Sumatra, Kalimantan dan Papua.
Letaknya strategis di jalur hubungan perdagangan antar pulau. Masyarakat Bugis,
Makassar serta Mandr dari Sulawesi terkenal memegang peran yang penting Dallam hubungan perdagangan antar pulau
Kalimantan, Sumatra , Jawa, dan sekitarnya ke wilayah timur Indonesia seperti
Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur, sampai ke Irian Jaya. Bahkan mereka
pun melakukan perjalanan perdagangan panjang sampai ke Benua Australia dan
Madagaskar. Mereka adalah pelaut- pelaut ulung dengan Kapal Pinishi yang
tersohor. Selain untuk tujuan ekonomi, orang Bugis dan Makasar berlayar jauh
mengarungi samudra Indonesia untuk menaklukan pulau-pulau. Ini terjadi pada
waktu kejayaan kerjaan Goa dan Bone. Beberapa daerah diantaranya dapat berhasil
ditaklukan dan berada dibawah pengaruh kedua kerajaan tersebut.
Di pulau Sulawesi,
daerah yang berbeda secara geografis, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah,
mempunyai perbedaan sosio budaya yang cukup besar. Pusat-pusat pelabuhan
terdapat didataran rendah seperti Manado di Sulawesi utara, pelabuhan Donggala
di Sulawesi Tengah, Buton di Sulawesi Tenggara, hingga pelabuhan Makasar di
Sulawesi Selatan. Melalui daerah-daerah tersebut masyarakat setempat maupun
pendatang, yaitu masyarakat dari kepulauan terdekat maupun para pedagang
Nusantara, saling bertemu dan berhubungan.
Penduduk Sulawesi
Selatan terdiri atas orang Makasar yang penduduknya berbahasa Mangkasara, yang
tinggal di ujung selatan Sulawesi dan di kota Makasar. Daerah barat laut
didiami oleh orang-orang Mandar, dan daerah-daerah tinggi didiami oleh Toraja
yang mempunyai cirri khas tenun ikat lusi terutama yang dihasilkan di Galumpang
dan Rongkong. Meskipunada cukup banyak orang Makassar, mayoritas penduduk
Sulawesi Selatan adalah orang-orang Bugis yang berbahasa Bugis.
Kaum laki-laki
Sulawesi, terutama orang Bugis, Makasar,dan Mandar adalah pelaut ulung dan
pembuat kapal. Mereka melakukan pelayaran hingga berbulan-bulan lamanya.
Komunitas ini tidak hanya singgah di pelabuhan yang ditemuinya, melainkan juga
beberapa bulan. Bahkan banyak pula yangmenetap hingga seterusnya. Banyak
diantara mereka yang membawa serta keluarga atau menikah dengan warga setempat.
Dengan demmikian komunita mereka meluas di beberapa tempat seperti di daerah
Samarinda di Kalimantan Timur, Sumbawa, dan Lombok d Nusa Tenggara Barat selain
diwilayah pantai-pantai di wilayah pantai Sulawesi sendiri.
Sebaliknya kebanyakan kaum wanita bekerja dan melakukan
kegiatan sehari-har di rumah. Sebagian mereka melakukan pekerjaan sambilan
secara turun-temurun. Pekerjaan menenun ini terutama dikerjakan terutama oleh
penenun Bugis, Makasar, Toraja, dan Mandar,namun yang aling menonjol adalah
tenunan kain sarung Bugis. Kain tenunan yang juga cukup terkenal adalah sarung
Mandar, berupa kain sutera halus dengan corak kotak-kotak kecil warna gelap.
Kain ini dapat digulung hingga seukuran kepalan tangan.
Dalam perkembangan
orang Bugis yang menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda,
Kalimantan Timur, mengembangkan kain tenun Bugis yang disesuaikan dengan
keadaan local. Hail akhir sarung ini kemudian dinamai sesuai nama tempatnya,
misalnya kain tenun Donggala dan kain tenun Samarinda.
Mula-mula orang
Bugis menenun untuk memenuhi kebutuhan di ingkungan keluarga. Kai n sarung
dibuat untuk dipakai sehari-hari, menghadiri upacara adat misalnya perkawinan
dan kenduri. Mereka menenun di beranda rumah atauDi antara hasil tenunan, ada
pula yang dibuat untuk keperluan elayaran, misalnya untuk kain layar perahu.
Benang tenun pada
awalnya dibuat dari benang kapas yang dipilin sendiri. Benang sutra baru
dikenal di nusantara baru dikenal pada abad ke 16-16, ketika pedagang-pedagang
dari luar membawa benang sutera. Hasil tenunannya merupakan corak garis-garis
saling berilang menghasilkan kotak-kotak kecil atau besar untuk di jadikan kain
sarung. Ada pula tenunan yang dibuat dari benang tipis membentuk kain tipis dan
tembus pandang berwarna polos untuk bahan busana yang dikenal dengan nama baju bodo.
Dalam perkambangannya corak kain Bugis kemudian
menggunakan corak pakan tambahan songket benang warna dan benang emas. Daerah
yang menerapkan corak ini adalah Bone, dimana terdapat motif-motif bungan dan
flora pada kain sarungnya. Corak ikat pada kain tenun biadanya berupa ragam
hias pucuk rebung, yang diterapkan pada bagian kepala kain sarung. Bagian badan
kain diberi motif silangan garis kotak-kotak kecil. Kain tenun sarung sutera
ini seperti yang dibuat di Sengkang, Kabupaten Wajo, dan dikenal dengan nama lipa sabbe.
Peralatan tenun
tidak hanya mengandalkan alat tenun
tradisional geogan, melainkan dengan ATBM atau Alat Tenun Bukan Mesin. Secara
teknik, alat ini dapat menghasilkan kain yang lebih cepat dan menghasilkan kain
yang lebih lebardari kain yang ditenun dengan alat tenu gedogan yang hanya 75
cm. Dengan ATBM, panjang kain tenun dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Kabupaten Donggala
adalah salah satu kota pelabuhan yang terpenting di sebelah barat Sulawesi
Tengah. Kota pelabuhan ini merupakan tempat perdatangan para pedagang dari
daerah lain dari Sulaesi Tengah. Terjadi hubungan yang erat antara kota
pelabuhan ini dengan kota pelabuhan di Surabaya. Dan sebaliknnya benang sutera
dari Surabaya khususnya dari Gresik, dijual kepada pengrajin tenun di Donggala
untuk dijadikan bahan dasar tenunannya. Di daerah Gresik sendiri juga ada alat
pembuat kain sarung tenun ikat. Hasil tenunan di kedua tempat ini tampak saling
pengaruh-mempengaruhi walaupun masih tetap memmiliki cirri khas masing-masing.
Analisa
Kain tenun Donggala bernama sama dengan daerah
pembuatannya. Daerah pembuatan kain tenun Donggala tersebar di wilayah pantai
timur dan barat dari kota pelabuhan Donggala. Kain tenun Donggala dihasilkan
oleh penduduk yang berasal dari Sulaesi Tengah sendiri. Merek adalah penenun
Donggala yang secara historis, sebagian berasal dari Bugis yang telah menjadi
penduduk Donggala. Selain itu ada sebagian kain tenun Donggala yang dibuat oleh
golongan minoritas keturunan Arab. Sebagian dari golongan minoritas ini adalah
pedagang antara kota Donggala ke Surabaya dan Jakarta. Ada juga yang menjadi pedagang
yang mempunyai toko-toko yang menjual kain-kain sarung, benang tenun, bahan
pewarna kimia atau pawarna pakaian. Kaum wanitanya mengerjakan bagian-bagian
tertentu dari proses menenun seperti membuat desain dan mencelup warna.
Pekerjaan-pekerjaan itu biasanya dikerjakan satu orangata bersama-sama.
Pekerjaan menenunnya sendiri biasanya diserahkan kepada penduduk asli setempat.
Ada juga anggota komunitas Arab yang bekerja sebagai pemodal atau pengusaha
yang mengupah orang untuk membuat desain, mencelup warna, maupun menenun.
Secara Tradisional
kain tenun Donggala digunakan untuk membuat pakaian adat masyarakat kaili dan
pamola. Ada banyak persamaan antara kain tenun Donggala ini dengan kain tenun
Bugis dari Sulawesi Selatan. Perpindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke
Sulawesi Tengah dapat dihubungkan dengan legenda atau kisah Sawerigading dan Tomanurun yang dikenal dikedua tempat. Sawerigading adalah seorang
tokoh keramat yang berasal dari kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, yang erat
hubungannya dengan timbulnya kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Tengah.
Sedangkan Tomanurun atau disebut juga Manuru Lasaseo adalah tokoh yag turun
dari langit ke bumi untuk mengajarkan sejumlah kepandaian kepada masyarakat.
Hal ini termasuk dalam segi estetis sebuah karya yang mengandung filosofi.
Pakaian adat untuk
pria di Sulawesi Tengah terdiri dari Buya, yakni baju yang menyerupai jubah.
Buya sendiri berarti sarung, seperti nama padatekstil tradisi yang terdapat
disana yakni Buya Bomba. “Buya berarti ‘sarung’, sedangkan bomba ‘bunga’.
Ragam Hias Tenun ikat Donggala Sulawesi Tengah
Corak ragam hias yang diterapkan berupa motif
tumbuh-tumbuhan atau flora sert fauna. Penggambaran motif bernafas islam
disebabkan Di Sulawesi Tengah memiliki daerah-daerah
yang penduduknya mayoritas beragama Islam, dan menurut beberapa sumber agama
Islam dibawa oleh tokoh agama dari Sumatra Barat. Masyarakat yang beragama
Islam banyak bermukim di sekitar pantai terutama seperti Palu dan Donggala.
Sehingga Unsur agama Islam tampak pada kain-kain tenun yang ditenun, yang lebih
menonjolkan unsur-unsur alam seperti bunga-bungaan dan berbagai jenis flora.
Unsure motif manusia tidak pernah dimunculkan sesuai dengan unsure seni islam.
Jenis fauna yang tampak diterapkan adalah jenis unggas seperti kakak tua atau
kupu-kupu. Motif-motif tersebut ditampilkan dalam bentuk ikat pakan. Kain-kain tenun yang mempunyai ragam
hias ikat ini diebut kain Bomba yang
lebih dikenal sebagai sarung bomba.
Bomba sendiri berarti bunga, sehingga buya bomba bera rti corak ikat yang
diberi ragam hias bunga. Kata bunga disini juga dapat diartikan sebagai anea
ragam corak hias, termasuk diantaranya bentuk bunga. buya bomba adalah
corak yang paling sulit dibuat dan membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua
bulan. Corak-corak lainnya rata-rata membutuhkan cukup satu hingga dua
minggu saja.
Pada kain sarung Bomba ragam hias ikat terdapat pada
benang pakan. Bentuk bunga yang tampak samar-samar pada kain ini diakibatkan
oleh ragam hia gulungan benag pakan itu dimasukkan diantara silangan benang
lungsi yang memiliki satu atau berbagai warna polos. Bayangan warna ini terjadi
karena warna dasar kain yang gelap atau tua, sedangkan warna ragam hiasnya
terang atau muda.
Ada dua jenis ragam
hias yang pertama terletak pada bidang yang
terluas dari kain tersebut yang disebut cura atau sura yang berarti badan kain. Corak ragam hias yang kedua
sisinya diterapkan pada bidang yang terbatas yang dinamakan punjang atau kepala kain. Bidang
panjang ini berciri motif kecil yang kadang-kadang diisi dengan ragam hias
geometris dari bentuk flora. Salah satu corak pada ragam hias ini antara lain
garis-garis diagonal yang membentuk belah ketupat yang diisi dengan taburan
bunga kecil-kecil. Corak bunga pada cura sama bentuknya dengan bunga-bunga yang
terdapat pada bagian punjang, tetapi pada cura ukurannnya lebih besar.
Ada macam-macam corak ragam hias
dengan nama tumbuh-tumbuhan atau bunga-bungaan yang terdapat pada kain tenun
Donggala seperti:
·
Tavanggadue atau daun keledai
·
Sesekaranji atau bunga berbuah keranjang
·
Vala artinya sama dengan bomba yang
berarti bunga atau kembang
·
Bunga paindo tava ronto , bunga paindo artinya bunga yang bentuknya
seperti lampu gantung, tava artinya
daun, ronto artinya rontokatau gugur.
Jadi artinya bunga yang berbentuk seperti lampu gantung dengn daun- daun yang
gugur.
·
Tavanempule, tava adalah daun, nempule berarti merayapatau merambat
keatas.
·
Punanununu, berarti pohon beringin.
Selain tenun Donggala corak ikat, ada juga jenis tenun-tenun
lain seperti kain songket benang emas, benang perak ata berwarna. Corak jenis
ini disebut buya subi. Kata subi
mungkin ereat hubungannya dengan sukit atau songket. Ada kain tenun yang
disebut bomba kota yaitu kain dengan
bemotif bunga berkotak-kotak yang spesifik. Bentuknya dibuat dengan teknik
tenun ikat ganda. Walaupun hanya ibuat berdasarkan silangan jalur benang
vertical dan horizontal, hasilnnya berupa bentuk atau corak kotak-kotak yang
simetris. Motif-motif geometris seperti bentuk meander disebut ukibanji dan bentuk persegi bersambung
disebut kacandiva kao-kao.
Ragam hias yang
dipakai juga tidak membedakan statu sosial pemakainya. Mereka menggunakan
symbol warna untuk membedakan kain-kain yang dipakai oleh golongan tua dan
golongan muda. Golongan tua memilih warna gelap sedangkan untuk golongan muda
biasanya mempergunakan warna-warna terang atau mencolok. Kain tenun yang lazim disebut kain palaekat hanya
dapat ditemukan di kediaman para keturunan raja-raja Palu. Kain tenun
Donggala mempunyai corak yang sangat unik dan langka, karena usianya mencapai
200 tahun.
Menurut Suwati Kartiwa “Kain-kain tradisional di
Sulawesi Tengah tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias”. Namun pada dasarnya tekstil tradisi tersebut
memiliki makna filosofi, estetika, indah, dibuat dengan proses, ketekunan,
serta alat dan bahan yang tidak sama dengan tekstil yang ada di negara lain.
Tekstil tradisi ini logis, bermanfaat dan menonjolkan unsur agama Islam yaitu
tidak menerapkan corak manusia pada ragam hiasnya.
III
Penutup
Latarbelakang tenun Donggala adalah perkembangan orang Bugis yang
menetap di Donggala, Sulawesi Tengah, dan Samarinda, Kalimantan Timur, yang mengembangkan kain tenun Bugis yang
disesuaikan dengan keadaan lokal.
Pakaian adat untuk pria di Sulawesi Tengah terdiri dari Buya, yakni
baju yang menyerupai jubah. Buya sendiri berarti sarung, seperti nama
padatekstil tradisi yang terdapat disana yakni Buya Bomba. “Buya berarti
‘sarung’, sedangkan bomba ‘bunga’.
Corak ragam hias yang diterapkan berupa motif tumbuh-tumbuhan atau
flora sert fauna. Penggambaran motif ber nafas islam disebabkan Di Sulawesi Tengah memiliki daerah-daerah
yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Menurut Suwati Kartiwa “Kain-kain tradisional di Sulawesi Tengah
tidak mengenal nilai simbolis dari corak ragam hias”. Namun pada dasarnya tekstil tradisi tersebut
memiliki makna filosofi, estetika, indah, dibuat dengan proses, ketekunan,
serta alat dan bahan yang tidak sama dengan tekstil yang ada di negara lain.
Tekstil tradisi ini logis, bermanfaat dan menonjolkan unsur agama Islam yaitu
tidak menerapkan corak manusia pada ragam hiasnya.
Latar belakang terciptanya kain tekstil tradisi tenun sutra
Donggala Sulawesi Tengah merupakan runtutan kronologi yang dapat dibuktikan melalui motif kain Donggala
yang diadaptasi dan pengembangan dari tenun Bugis.
Daftar Pustaka
Kartiwa, Suwati(1983). Tenun
Ikat: Penerbit Djambatan.Jakarta.
Kartiwa,
Suwati(2007). Ragam Kain Tradisional
Indonesia Tenun Ikat: PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dianawati, Ajen
(2007). Mengenal Alam dan Budaya
Indonesia. Wahyu Media. Jakarta.
Dianawati, Ajen
(2006). Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap SD. Wahyu Media. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar